SELAMAT DATANG

Silakan mencicipi lontaran tayangan dalam warna :
puisi, sains, budaya, hobi dan filosofi.
Selamat menikmati ......

Senin, Maret 23, 2009

DARI HAKEKAT MENUJU NIKMAT

Telaah singkat atas peran serta Aristoteles dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan

Abstrak
Telah ditelaah secara singkat perkembangan pemikiran yang mendasari terbentuknya ilmu pengetahuan. Melalui telaah ini diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dewasa ini, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan pemikiran tokoh ilmu pengetahuan pada masa-masa awal terbentuknya ilmu pengetahuan tersebut. Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh adalah Aristoteles, filsuf dari bangsa Yunani. Beliau menyampaikan teori Ontologies dan Naturalisme sebagai dasar pikiran-pikirannya. Teori ini kelak dipakai sebagai peletak dasar cara berfikir ilmiah melalui metode deduksi dan induksi.

Abstract
Development of the thinking as foundation of scientific forming has to be short analysed. From this was knew that the very quickly of scientific development at the present time can not released with thinking development of important figure thinking of the scientific on initial time of scientific forming. One of them is Aristoteles, Philosoper from Greece. He tought Ontologies and Naturalism theory as foundation of his thinking. Next day, his theories were used foundation of scientific thinking methode by induction and deduction.
1. PENDAHULUAN
Manusia dewasa ini telah banyak merasakan kenikmatan hidup, baik berupa nikmat jasmani maupun nikmat rohani. Kenikmatan jasmani dapat dilihat dari terpenuhinya berbagai macam kebutuhan manusia mulai dari kebutuhan sandang, pangan, maupun papan sampai dengan kebutuhan sarana pendidikan, sosial, budaya dan lain-lain. Sedangkan kenikmatan rohani dapat dilihat dengan terpenuhinya berbagai jenis keperluan sosial keagamaan, penyegaran jiwa semisal adanya tempat-tempat wisata, pagelaran kesenian musik, lukis, maupun drama serta banyaknya berdiri tempat-tempat ibadah keagamaan dan lain-lain. Pemenuhan berbagai macam kenikmatan ini merupakan hasil dari kemudahan-kemudahan yang diperoleh manusia berka tkemampuan dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek. Dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling rumit sekalipun telah dapat ditundukkan oleh manusia dan sekaligus dapat dimanfaatkan. Sebagai contoh untuk keperluan sandang, manusia tidak perlu lagi memintal sendiri bahan-bahan yang akan dijadikan pakaian, baju dan celana, tetapi cukup membelinya di toko pakaian atau toko bahan sandang. Sedangkan untuk keperluan rohani semisal bagi umat Islam dalam pelaksanaan beribadah haji, pada saat ini tidak perlu lagi berlama-lama mengarungi samudra atau mengendarai onta di tengah-tengah padang pasir, tetapi cukup dengan naik pesawat terbang dan atau mengendarai mobil berpendingin dalam waktu yang relatif singkat. Kemudahan semacam ini, jika dituliskan semuanya tentu akan menambah deretan yang sangat panjang bahkan mungkin takterhitung jumlah dan jenisnya. Penguasaan iptek yang demikian hebat yang mampu melahirkan kenikmatan hidup sehingga sampai dapat dirasakan di masa awal milenium ke tiga ini, tidaklah datang dengan cara tiba-tiba, tetapi melalui tahapan demi tahapan yang sangat panjang, mulai dari iptek sederhana sampai dengan yang sangat canggih dan rumit. Tentunya tahap demi tahap yang dimaksud jelas akan menentukan proses terbentuknya iptek sampai saat ini. Untuk mengetahui hal ini maka salah satu caranya adalah melalui penelusuran jejak pemikiran manusia, terutama tokoh pemikir sejak jaman mitos yang penuh dongeng dan legenda, jaman Yunani kuno sampai dengan jaman revolusi industri di benua Eropa.
Dari sekian banyak pemikir ataupun ilmuwan, tentunya hanya sedikit dari hasil pemikirannya yang mampu mempengaruhi isi kepala jutaan umat manusia yang akan membentuk pola pikir ilmu pengetahuan, bahkan ada yang mampu menembus batas berbagai jaman sesudah pemikiran itu dicetuskan. Salah satu tokoh yang dimaksud adalah Aristoteles, seorang filsuf hebat yang hidup di jaman Yunani kuno, sekitar abad 5 SM. Oleh karena itu untuk mengetahui peranan beliau dalam mempengaruhi pembentukan iptek sampai dengan abad milenium ke tiga ini, dirasa perlu dilakukan telaah singkat terhadap hasil pemikiran-pemikiran beliau dan kaitannya dengan beberapa ilmuwan sesudahnya; ilmuwan pencetus revolusi ilmu pengetahuan, diantaranya adalah Rene Descartes dan Immanuel Kant, keduanya dari bangsa Eropa.

2. POLA PIKIR MANUSIA PADA ABAD 5 SM
Cikal bakal pemikiran manusia dapat ditelusuri mulai dari adanya pemikiran mitos atau tahayul sejak jaman kuno, tepatnya sejak sebelum abad 6 SM. Pada jaman ini pemikiran manusia sangat dipengaruhi oleh unsur dominan alam semesta, sehingga manusia seolah-olah dikuasai oleh sesuatu yang dianggap pembentuk kehidupannya; seperti air, api, tanah, angin, tumbuhan dan binatang atau paling tidak pada saat itu, manusia sangat bersandar pada faktor di luar kemanusiaannya yang mereka anggap bisa menyelamatkan atau menyengsarakan hidupnya, misal percaya kepada dewa-dewa tanpa petunjuk agama. Oleh karena itu pemikirannya terbelenggu oleh bayang-bayang kekuasaan di luar dirinya. Maka kondisi abad yang demikian ini sering disebut sebagai abad yang penuh mitos atau dongeng ataupun legenda dan secara singkat disebut sebagai abad mitis. Setelah abad ini, sedikit demi sedikit manusia mulai mengenal kemampuan dirinya, sehingga bisa menuangkan pemikiran nyamengenai keberadaan sesuatu baik menyangkut dirinya maupun alam semesta atau kosmos di luar dirinya. Hal ini terjadi sampai dengan di penghujung abad 6 SM.
Memasuki abad 5 SM kancah pemikiran manusia mulai membuka babak baru, terutama bagi bangsa Yunani kuno, yakni dengan kehadiran pemikiran yang berlandaskan ciri berfikir ilmiah dan pemikiran yang sangat mendasar tentang keberadaan sesuatu. Pemikiran ini mencoba membedah tentang pengetahuan sesuatu secara radikal dan mendalam melalui refleksi kritis atas gejala-gejala alam yang telah diamati, sehingga diperoleh pengetahuan yang hakiki. Konon dalam perkembangannya pengetahuan semacam ini dikenal sebagai pengetahuan filsafat dan orang yang mendalami ilmu ini disebut sebagai filsuf. Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philein berarti cinta, sophia berarti kebijak sanaan. Adapun filsuf yang hidup pada masa ini diantaranya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles.

· SOCRATES
Pemikiran beliau pada dasarnya adalah pemikiran atas penggalian kemampuan diri sendiri, yakni melalui ajarannya yang sangat terkenal “ Kenalilah dirimu, melalui dirimu sendiri “. Oleh karena itu melalui ajaran ini, manusia diharapkan tidak lagi hanya bersandar pada nilai keberadaaan benda-benda di luar kemanusiaannya, seperti api, angin, air, bumi serta angkasa luar dan sebagainya. Tetapi cukup dengan mengenal kemampuan diri sendiri berarti dia sudah mengenal keberadaannya secara mendalam dan radikal. Semisal pengenalan terhadap keindahan tubuh, kekuatan panca indra, kemampuan berfikir dan lain-lain. Kemampuan bersuara dari lidah misalnya, manusia dan binatang sama-sama dikaruniai lidah yang terbuat dari daging dan dilumuri cairan ludah. Namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Lidah binatang hanya mampu mengeluarkan sedikit ragam suara dan tidak mencerminkan pemikiran maupun gagasan tetapi hanya berfungsi sebagai pembolak balik makanan. Sedangkan lidah manusia mempunyai kemampuan yang hampir takterbatas dalam menghasilkan ragam suara serta mampu menyampaikan berbagai macam pemikiran maupun gagasan dan juga berfungsi sebagai alat komunikasi. Logika berfikir yang sangat dalam seperti ini telah menarik banyak orang pada saat itu, sehingga terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Yang pada akhirnya karena keyakinan akan kebenaran pemikirannya, mengantarkan Socrates harus rela mati menerima hukuman dengan minum racun demi mempertahankan kebenaran tersebut. Meskipun demikian, kematian Socrates tidak menyurutkan orang-orang untuk senantiasa berfikir secara logika ilmiah dan mendalam. Hal ini terbukti dengan kehadiran Plato dalam dunia filsafat. Beliau adalah murid Socrates.

· PLATO
Ajaran Plato dikenal sebagai paham idealisme yang menyatakan bahwa sesuatu yang ada di dunia ini adalah ide atau cita-cita semata yang bersifat nyata, kekal dan tidak pernah berubah-ubah. Sedangkan sesuatu di luar ide, seperti materi bersifat jamak, serba berubah dan tidak kekal, sehingga keberadaannya hanyalah berupa bayang-bayang dan semu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa yang ada hanyalah dunia rohani, sedangkan dunia jasmani hanyalah bayang-bayang yang tidak pernah ada, atau paling tidak keberadaannya hanya bersifat sementara dan semu. Pengertian cara berfikir seperti ini dapat dijelaskan melalui contoh berikut misalnya pemikiran tentang jujur dan kejujuran. Dua kata ini mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Jujur merupakan salah satu sifat yang melekat pada diri seseorang, sedangkan kejujuran merupakan hakekat atau makna yang mendasar dari sifat jujur dan posisinya berubah menjadi kata benda bukan lagi kata sifat seperti pada kata jujur. Oleh karena itu keberadaan jujur pada seseorang hanya bersifat sementara, paling lama sampai orang yang bersifat jujur tersebut meninggal dunia. Maka sifat jujur hilang bersamaan dengan meninggalnya orang tersebut. Sedangkan kejujuran selamanya pasti ada, karena kejujuran berada pada tataran ide yang melekat pada setiap orang, meskipun orang tersebut tidak pernah belajar tentang kejujuran. Demikian juga mengenai jenis pemikiran-pemikiran yang lain, semisal pandai dan kepandaian, cantik dan kecantikan, dan sebagainya, semuanya mempunyai pemahaman yang hampir sama. Pemikiran Plato tentang idealisme, sampai dengan abad milenium ke tiga ini masih dianut oleh banyak orang atau setidak-tidaknya masih mempunyai relevansi dengan ajaran agama. Meskipun demikian dalam perkem-bangannya, ajaran idealisme Plato pernah ditentang oleh beberapa orang. Salah satu diantaranya adalah Aristoteles, murid Plato sendiri, seorang filsuf Yunani yang hidup sejaman dengan beliau.

· ARISTOTELES
Buah pikir Aristoteles yang sangat terkenal adalah tertuang dalam aliran Naturalisme. Paham ini diawali tentang pemahamannya terhadap keberadaan alam semesta atau substansi kosmos sampai dengan induksi intuitif dan deduksi atau silogisme di dalam penalaran paham-pahamnya. Menurut Aristoteles dunia ini terdiri dari hal-hal yang mandiri atau terdiri dari diri sendiri, yaitu substansi kosmos itu sendiri yang benar-benar ada. Oleh karena itu, menurut beliau substansi kosmos dipahami sebagai substansi organik dan anorganik. Substansi anorganik alam semesta terdiri dari tiga tingkatan, yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Dunia atas adalah langit dirgantara sampai dengan antariksa atau luar angkasa. Dunia tengah adalah daratan dan gunung gemunung. Sedangkan dunia bawah adalah alam di bawah atau di dalam bumi atau di dalam lautan. Pemahaman kosmos seperti ini juga dianut oleh masyarakat di luar bangsa Yunani, misalnya oleh kebudayaan Jawa di Indonesia, yakni tercermin dalam dunia pewayangan. Pada budaya ini dikenal tokoh-tokoh yang mampu hidup di tiga macam dunia tersebut, misalnya Gatotkoco yang mampu terbang sampai negeri kahyangan negeri para dewa di dunia atas. Ontoseno, tokoh ini mampu menembus bawah laut. Dan tokoh satu lagi Ontorejo yang mampu menembus bumi, keduanya termasuk dunia bawah. Sedang kan substansi organik dari alam semesta ini terdiri dari tiga substansi yaitu tumbuhan, hewan dan manusia.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa cara berfikir Aristoteles berlandaskan pada unsur-unsur yang nyata-nyata ada dan dengan keberadaan dirinya sendiri. Cara berfikir seperti ini dikenal dengan cara berfikir Ontologies. Melalui cara berfikir seperti ini beliau juga mampu menerangkan dilematis keberadaan dunia, sebagai konsekwensi dari pemikirannya, yaitu jika dunia atau kosmos ini terdiri dari berbagai substansi, maka keberadaan dunia ini bersifat jamak, sedangkan sesuatu yang jamak tidak akan pernah ada. Karena yang dikatakan ada itu pasti satu kesatuan yang bersifat kekal, tetap dan tidak berubah. Untuk menjawab dilematis ini beliau menyodorkan teory Hylemorphisme yang berarti materi atau bahan dan bentuk. Dalam teori ini dinyatakan bahwa segala sesuatu yang ada atau be ing selalu dalam keadaan terstruktur, yang didasari oleh dua prinsip, yaitu prinsip materi dan prinsip bentuk. Prinsip materi memandang bahwa keberadaan sesuatu pasti terdiri dari bahan atau materi yang terkandung dalam keberadaan sesuatu tersebut. Sedangkan prinsip bentuk adalah faktor bentuk sehingga mampu membentuk materi sesuai dengan bentuknya. Salah satu contoh untuk memahami hal ini adalah keberadaan buku misalnya. Buku pasti terdiri dari bahan atau materi yang digunakan sebagai buku yaitu kertas. Buku juga terdiri dari faktor bentuk yang membentuk materi menjadi buku. Oleh karena itu buku bisa dibedakan dari koran, majalah maupun tabloid, meskipun sama-sama terbuat dari kertas.
Disamping keberadaan sesuatu pasti terdiri dari prinsip materi dan prinsip bentuk. Tetapi keberadaannya juga selalu berubah, misalnya manusia, dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa kemudian menjadi tua dan tiada. Demikian juga keberadaan yang lain. Ada barang baru menjadi lama kemudian usang dan rusak. Segala sesuatu pasti berubah atau pantarei, segalanya mengalir berubah ubah. Menurut Heraclitus, filsuf Yunani, bahwa yang ada dan abadi adalah perubahan itu sendiri. Sedangkan menurut Aristoteles adalah bahwa segala sesuatu yang berubah, pasti karena ada yang merubah atau pasti ada sebab musabab yang menyebabkan perubahan tersebut. Dari pemahaman ini beliau menjelaskan prinsip prinsip kausalitas dalam setiap perubahan yang terjadi. Prinsip kausalitas terdiri dari empat unsur yaitu 2 unsur kausa intrinsik dan 2 unsur kausa ekstrinsik. Kausa intrinsik adalah keberadaan sesuatu yang mengalami perubahan, kausa ini terdiri dari kausa materi dan kausa forma atau bentuk. Sedangkan kausa ekstrinsik adalah keberadaan sesuatu di luar yang mengalami perubahan tersebut. Kausa ini terdiri dari kausa efisien dan kausa final. Kausa efisien adalah pelaku atau penyebab terjadinya perubahan, sedangkan kausa final adalah merupakan tujuan dari dilakukannya perubahan tersebut. Pada perkembangan selanjutnya empat jenis kausa ini ada yang masih relevan dalam kehidupan manusia dewasa ini dan ada juga yang tidak. Misalnya dalam dunia iptek, tiga jenis kausa terdahulu masih ada relevansinya, yakni kausa materi, forma dan efisien, ketiganya masih sering digunakan sebagai bahan telaah iptek. Sedangkan untuk kausa final tidak lagi relevan, karena di dalam iptek tidak mengenal tujuan seseorang untuk berbuat sesuatu terhadap iptek. Namun demikian bagi umat beragama, kausa final ini masih relevan karena di dalam pelaksanaan beragama segala perbuatan atau amal tergantung pada tujuan baik atau buruk dari si pelaku.
Dari prinsip-prinsip kausalitas seperti yang telah diuraikan, Aristoteles memperkenalkan metode Induksi intuitif dan metode Deduksi atau silogisme sebagai dasar pemahamannya terhadap keberadaan sesuatu. Hasil pemikiran Aristoteles yang cemerlang ini dituangkan melalui jalur pengamatan (Observation) terhadap gejala-gejala alam sebagai obyek pengamatannya, sehingga diperoleh hukum dasar atau prinsip dasar tanpa lewat generalisasi tetapi melalui pemikiran yang mendalam dan radikal sebagai refleksi dari gejala-gejala tersebut. Metode ini dikenal sebagai metode induksi intuitif dan masih dipakai sampai pada saat ini, karena pada saat itu belum terjadi pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Disamping metode ini, Aristoteles juga mengenalkan metode deduksi atau silogisme. Metode ini merupakan metode penarikan kesimpulan berdasarkan premis-premis universal dan atau partikular. Silogisme semacam ini juga disebut sebagai logika formal dari Aristoteles. Jika dilihat dari pola pikir Aristoteles seperti yang telah diuraikan, dan juga dilihat dari penggunaan metode deduksi dan induksi secara empiris di dalam dunia ilmu pengetahuan dewasa ini, maka boleh dikatakan bahwa Aristoteles merupakan peletak dasar cara berfikir ilmiah bagi para ilmuwan. Dengan cara berfikir seperti ini akan mampu melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang andal.
Kelahiran ilmu pengetahuan menurut Aristoteles, pada hakekatnya adalah kelahiran ilmu pengetahuan tentang prinsip-prinsip, misalnya ilmu pengetahuan alam berarti pengetahuan tentang prinsip-prinsip alam, sehingga diperoleh hakekat dari kealaman. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip ini diperlukan alat bantu ilmu pengetahuan, yakni berupa pengamatan atau Observasi melalui panca indra atau alat yang lain, misalnya kaca pembesar atau mikroskop. Alat bantu ini digunakan oleh manusia untuk membantu panca indra dalam melakukan pengamatan terhadap alam semesta sehingga diperoleh prinsip-prinsip alam. Berbagai macam prinsip-prinsip alam yang tertuang dalam ilmu pengetahuan, menurut beliau secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu : ilmu pengetahuan teoritis dan ilmu pengetahuan praktis. Ilmu pengetahuan teoritis terdiri dari ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan tentang metafisika. Sedangkan ilmu pengetahuan praktis adalah ilmu penge-tahuan tentang moral. Melalui dua macam ilmu pengetahuan ini, akhirnya pandangan Aristoteles dapat dikenal oleh banyak orang, bahkan mampu menembus Eropa sampai dengan abad pertengahan, terutama atas jasa orang-orang Islam Arab dan jasa Thomas Aquinas .

3. POLA PIKIR MANUSIA PADA ABAD PERTENGAHAN
Pemikiran filsafat yang mulai dikembangkan pada abad 5 SM telah mampu mempengaruhi banyak orang, terutama ajaran Plato dan Aristoteles, bahkan sampai dapat mencapai dataran Timur tengah atau dunia Arab dan benua Eropa. Jejak pemikiran ini dapat dilacak dengan munculnya 2 tokoh agamawan Nasrani sekaligus seorang filsuf, pada abad pertengahan, tepatnya pada abad 5 M dan 13 M. Pada abad 5 M muncul Augustinus sebagai pengikut Plato. Melalui beliau terjadi penyatuan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Beliau juga menyebarkan pemikirannya ke pada bangsa Romawi dan Yunani sehingga mencapai benua Eropa.
Pada abad 13 M muncul juga tokoh agamawan sebagai pengikut Aristoteles, yaitu Thomas Aquinas. Beliau mempelajari ajaran sang maestro filsafat Aristoteles melalui masyarakat Arab yang beragama Islam yang memasuki Spanyol, sehingga ajaran ini menyebar ke seluruh belahan dunia Eropa dan mempengaruhi pola pikir masyarakatnya. Karena pada dasarnya pemikiran Aristoteles adalah bercorak Ontologis, pola pikir berdasarkan kenyataan yang ada, maka di masyarakat Eropa sejak itu mulai terjadi pergeseran pola pikir, terutama terhadap kemampuan berfikir manusia, yakni dari kemampuan berfikir karena anugerah dari luar kemanusiaannya menjadi kemampuan atas dirinya sendiri yang penuh dengan kesadaran. Cara berfikir seperti ini dapat menggugah kesadaran akan kemampuan sendiri tanpa campur tangan dari luar kemanusiaannya. Sehingga kesadaran ini dapat melahirkan sikap saling menghargai diantara umat manusia, baik terhadap akal budi, martabat maupun pengalaman. Semangat seperti inilah yang akhirnya mampu melahirkan revolusi ilmu pengetahuan dalam bentuk revolusi kebudayaan atau gerakan budaya Renaisanse pada abad 17 M dan revolusi industri besar-besaran pada abad 18 M di benua Eropa.

4. RENAISANSE
Renaisanse atau revolusi kebudayaan merupakan tahap awal dari terjadinya revolusi ilmu pengetahuan. Dikatakan terjadi revolusi karena pada saat itu memang terjadi perubahan besar dan sangat mendasar dari ilmu penge-tahuan, jika dibandingkan dengan perjalanan ilmu pengetahuan pada abad-abad sebelumnya. Revolusi ini berisi semangat humanisme yakni suatu sikap penghargaan terhadap keberadaan manusia, baik karena martabat, pengalaman maupun pikiran-pikirannya. Revolusi ini dapat terjadi karena memang kondisi dan situasi pada saat itu memungkinkan terjadinya revolusi ilmu pengetahuan. Terutama karena adanya dominasi kaum agamawan Nasrani di Eropa terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan pernah suatu ketika filasat hanya difungsikan sebagai pelayan theologi atau yang lebih dikenal dengan istilah “Ancilla Theological”, ancilla berarti gadis pelayan. Oleh karena itu maka wajar saja jika terjadi pemberontakan para ilmuwan atas kondisi dan situasi seperti ini sehingga mereka lebih menonjolkan sikap rasionalisme dan empirisme dalam setiap penalaran buah pikir ilmiahnya. Sikap Rasionalisme ini lahir karena adanya penghargaan terhadap kemampuan akal budi, sedangkan Empirisme lahir karena adanya penghargaan terhadap pengalaman manusia. Bersatunya dua sikap inilah yang mendasari timbulnya perubahan besar terhadap ilmu pengetahuan, sehingga terjadi ledakan semangat untuk memajukan ilmu pengetahuan. Selanjutnya sedikit demi sedikit cara berfikir Ontologis yang hanya melibatkan hakekat keberadaan sesuatu mulai ditinggalkan apalagi cara berfikir keagamaan yang cenderung penuh dokma tanpa boleh ditelaah secara kritis dan juga cenderung tidak menghargai manusia sebagai manusia tetapi hanya dihargai sebagai hamba di luar kemanusiaannya. Maka sejak saat itu pola pikir yang hanya melibatkan hakekat keberadaan sesuatu berubah menjadi pola pikir mekanistis yang melibatkan penerapan hukum matematika yang bersifat kuantitatif. Dalam perkembangannya pola pikir seperti ini akan mengakibatkan terjadinya pemisahan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama, khususnya agama Nasrani. Sehingga masing-masing berjalan sendiri-sendiri dalam mencapai kemajuan. Untuk mengetahui lebih lanjut dasar-dasar pemikiran pada masa ini, minimal dapat disimak dari buah pikir dua ilmuwan yang berpengaruh dan hidup pada jaman itu, yakni Rene Descartes yang hidup pada abad 16 – 17 M, seorang filsuf yang juga jago di bidang hukum dan matematika, dan satu yang lagi buah pikir dari seorang filsuf yang hidup pada abad 18 M yakni Imanuel Kant.

· RENE DESCARTES
Rene Descartes adalah pelopor penentu kepastian kebenaran ilmu pengetahuan melalui kesadaran atau rasio. Oleh karena itu beliau dikenal juga sebagai tokoh Rasionalisme. Menurut beliau kesadaran yang benar adalah kesadaran yang dapat terukur secara logika matematika. Logika ini dapat digunakan untuk mengetahui sifat mekanistis dari keberadaan sesuatu secara pasti dan tidak lagi menduga-duga seperti jika hanya menggunakan panca indera. Teori Rene Descartes tentang kepastian kebenaran ini tercermin dalam pernyataan beliau yaitu “ Cogito ergo Sum “ yang berarti saya berfikir maka saya ada. Dalam teori ini beliau memandang bahwa ilmu pengetahuan yang penuh kepastian adalah ilmu pengetahuan yang bersifat evidence, jelas dengan sendirinya tanpa diperlukan pembuktian lagi atau dengan istilah “ ilmu pengetahuan itu harus memenuhi sifat clear and distinct “ (jelas dan berbeda atau lain dari yang lain). Oleh karena itu cara berfikir seperti ini menempatkan diri seseorang sebagai subyek dari ilmu pengetahuan yang penuh dengan kesadaran. Karena sebagai subyek maka menurut beliau kesadaran ini terdiri dari tiga jenis subtansi yaitu : Subyek, Materi dan Tuhan. Subyek adalah manusia yang berkesadaran, materi adalah keluasan yang terdapat di luar manusia, sedangkan Tuhan adalah suatu keniscayaan yang ada karena ada kesadaran subyek dan keluasan materi. Selanjutnya Rene Descartes membagi ilmu pengetahuan menjadi dua macam yaitu ilmu pengetahuan tentang subyek atau kesadaran dan ilmu pengetahuan tentang materi atau keluasan. Ilmu pengetahuan tentang subyek tidak dapat diukur secara kuantitatif, karena terdapat di dalam isi kepala sang subyek. Sedangkan ilmu pengetahuan tentang materi dapat diukur secara matematika yang bersifat kuantitatif, karena pada dasarnya materi adalah suatu keluasan yang terdiri dari bentuk atau geometri dan gerak atau mekanistis. Maka dapat dimengerti bahwa menurut beliau yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan tentang fisika, geometri dan mekanika. Semua ini tercermin dalam ilmu pengetahuan tentang matematika, atau dengan menggunakan istilah Matheus Universalis yang berarti keuniversalan matematika. Jadi dapat dikatakan bahwa jika ingin memajukan ilmu pengetahuan maka kuasailah ilmu matematika.
Cara pandang Rene Descartes seperti di atas bahwa ilmu pengetahuan yang penuh kepastian adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan rasio, pada akhirnya akan menimbulkan pertanyaan baru bagi dunia ilmu pengetahuan yakni “ Dari manakah munculnya ilmu pengetahuan, apakah semata-mata dari rasio atau dari empiris berdasarkan pengalaman ? “. Dalam perkembangan selanjutnya pertanyaan semacam ini akan terjawab kelak dengan munculnya Immanuel Kant, seorang filsuf, yang juga dikenal sebagai tokoh subyektifisme.

· IMMANUEL KANT
Sebagaimana yang telah ditulis di atas bahwa Immanuel Kant mampu menjelaskan asal usul kemunculan ilmu pengetahuan, maka menurut beliau bahwa ilmu pengetahuan muncul dari perpaduan antara perbuatan akal budi dan pengalaman dari seseorang. Pada dasarnya manusia hanya mampu menangkap gejala-gejala atau fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya , sedangkan di luar hal ini, yaitu noumena atau subtansi yang hakiki manusia tidak akan pernah mampu menangkapnya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa ilmu penge-tahuan universal berasal dari subyek yang mencerminkan realitas di luar subyek yang berarti pengalaman. Dengan pemahaman seperti ini maka Immanuel Kant dikenal sebagai tokoh subyektifisme atau Fenomenalisme. Teori Fenomenalisme ini merupakan kebalikan dari keyakinan yang telah diikuti oleh banyak orang pada waktu itu tentang masalah subyek, yakni dikatakan bahwa subyek itu kosong, sampai subyek mengisi atau mendatangi obyek. Oleh Immanuel Kant dikatakan sebaliknya, yaitu bahwa obyeklah yang mendatangi subyek, maka sebagai konsekwensinya akan terbentuk tiga macam struktur dalam ilmu pengetahuan, yakni struktur empiris, rasional dan metafisis. Struktur empiris terbentuk dari kombinasi antara unsur material dan unsur formal. Unsur material terdiri dari data-data pengalaman yang bersifat empiris dan ditangkap oleh panca indra melalui forma apriori yang dimiliki oleh subyek. Kemudian masuk dalam dimensi ruang dan waktu yang selanjutnya menghasilkan ilmu pengetahuan empiris. Struktur rasional juga terdiri dari unsur formal dan unsur material. Unsur material disini juga terdiri dari ilmu pengetahuan empiris. Untuk unsur formal terdiri dari forma apriori yang berupa beberapa kategori, yaitu kuantitas, kualitas, relasi dan modalitas. Sedangkan struktur metafisis terdiri dari bentuk aturan-aturan atau regulasi dari ide Ketuhanan, Kejiwaan dan Dunia alam semesta.
Demikianlah beberapa pemikiran dari Immanuel Kant yang kelak kemudian hari dapat mengantarkan umat manusia menuju revolusi industri secara besar-besaran. Revolusi ii merupakan pintu gerbang menuju era teknologi di abad 20 dan era informasi di abad 21.

5. IPTEK DI ABAD 21
Pada abad 20 dikenal sebagai abad teknologi karena pada abad ini ditandai dengan kemajuan iptek yang sangat dahsyat, mulai dari perhitungan aritmatika melalui alat hitung sempoa sampai dengan perhitungan komputer, mulai dari komunikasi melalui telepon kabel, handphone sampai dengan lewat satelit atau internet. Demikian juga perkembangan iptek permesinan dari motor bakar, turbin gas sampai dengan penggunaan baterei untuk mobil listrik ataupun kendaraan tenaga surya. Iptek di bidang ilmu biologi dan kedokteran juga maju sangat pesat dengan ditemukannya proses klonning, proses penggandaan mahluk hidup melalui teknik pembelahan sel yang penuh dengan pro dan kontra, atau bioteknologi yang salah satunya dapat menghasilkan bakteri penghasil gas untuk bahan bakar, dan lain sebagainya. Kini Kemajuan iptek sudah merambah ke semua bidang kehidupan. Sehingga Pada saat ini hampir tidak ada celah bagi kehidupan manusia tanpa bantuan dan pemanfaatan iptek baik langsung maupun tidak langsung.
Memasuki abad ke 21 atau Milenium ketiga ini tanda-tanda lompatan kemajuan iptek semakin terlihat nyata terutama dengan jangkauan pemakaian internet di seluruh dunia, seolah-olah dunia semakin kecil dengan jarak semakin dekat. Dengan banyaknya penggunaan alat komunikasi ini maka informasi dari manapun dengan mudah dapat diperoleh. Sehingga dapat diperkirakan bahwa pada abad 21 ini dunia akan dipenuhi oleh informasi dari segala penjuru. Oleh sebab itu siapapun yang menguasai dan dapat mengolah informasi ini akan dapat mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari kenikmatan yang ditimbulkan oleh informasi tersebut. Maka tidak heran jika abad 21 ini disebut juga abad informasi.

6. PEMBAHASAN
Dari penjelasan terdahulu diketahui bahwa dua tokoh ilmuwan Rene Descartes dan Immanuel Kant, keduanya sangat berjasa dalam mendorong bangkitnya revolusi ilmu pengetahuan sehingga melahirkan revolusi budaya, renaisanse dan revolusi industri di benua Eropa. Revolusi-revolusi ini merupakan tonggak bersejarah bagi pintu gerbang kemajuan iptek, sampai di penghujung abad teknologi dan kini memasuki zaman informasi di abad milenium ketiga ini. Pada saat ini, dari orang awam sampai dengan para ilmuwan, dari kegiatan perdagangan sampai dengan peperangan dan lain-lain bidang kehidupan, atau dengan kata lain bahwa hampir setiap orang maupun institusi selalu ingin memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam waktu yang sangat singkat. Tentunya informasi ini tidak akan pernah sampai pada yang memerlukan jika tanpa memanfaatkan iptek yang mendukung informasi tersebut. Oleh karena itu untuk memperoleh informasi yang tepat sesuai dengan keperluan, maka penguasaan iptek merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam iklim yang serba penuh keterbukaan saat ini, maka persyaratan yang dimaksud bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk dapat diraih oleh setiap bangsa, institusi maupun perorangan. Sehingga setiap insan dapat dengan leluasa dapat memperoleh informasi yang diinginkan.
Pada masa dewasa ini, iptek telah banyak dinikmati oleh umat manusia tanpa membedakan suku, ras, bangsa, bahasa maupun agama. Iptek memang benar-benar telah mampu menembus batas jaman dan melintasi antar bangsa. Tentunya semua ini dapat terjadi karena adanya ribuan jasa yang telah diberikan oleh para ilmuwan terdahulu diantaranya adalah Rene Descartes dan Immanuel Kant. Namun demikian kedua tokoh ini, juga tokoh-tokoh yang lain di bidang iptek, sebenarnya mereka tak akan pernah berarti jika seandainya para pendahulu sebelum mereka tidak pernah lahir dan hadir dengan pemikiran-pemikirannya, terutama seorang filsuf Yunani, Aristoteles dengan teori Ontologis dan Naturalismenya. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dapat dikatakan bahwa sesungguhnya Aristoteles adalah peletak dasar cara berfikir ilmiah bagi para ilmuwan sesudahnya. Maka dari cara berfikir seperti ini kelak akan lahir ilmuwan-ilmuwan yang mampu mewujudkan karya-karya hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat berguna bagi kehidupan umat manusia, baik sekarang maupun yang akan datang.

7. PENUTUP
Berdasarkan telaah pustaka dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Aristoteles mempunyai pengaruh dan peran serta yang sangat besar di dalam pembentukan ilmu pengetahuan sampai dengan dewasa ini, terutama melalui metode ilmiah induksi dan deduksi. Meskipun dunia ilmu pengetahuan pada saat ini tidak lagi menggunakan hakekat sebagai dasar pemikiran ilmiah. Namun demikian kedua metode Aristoteles tersebut telah membe-rikan pencerahan awal atas terbukanya kegiatan ilmiah untuk menghasilkan iptek, sehingga dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia. Oleh karena itu maka dapat dikatakan secara singkat, bahwa perjalanan ilmu pengetahuan adalah berangkat dari filsafat yang penuh dengan paham hakekat menuju hasil iptek yang penuh dengan ragam nikmat.


DAFTAR PUSTAKA
· AlvinToffler, 1990, Power Shift : Knowledge, Wealth, And Violence At The Edge of The 21 st Century, Bantam Books, New York.
· C. A. Van Peursen, 1989, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Umum, Terjemahan J.Dorst, Gramedia, Jakarta.
· C.Verhaak, R. Hayono Isman, 1997, Filsafat Ilmu Pengetahuan Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
· J. Martin, 1978, Communications Satellite Systems, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
· K. Bertens, 1975, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogjakarta.
· M. Noor Matdawam, 1977, Aspek Teologi Islam, Kota Kembang, Yogjakarta.
· Niale, JM. And Liebert, RM.,1986, Science and Behavior:An Introduction to Methode of Research, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
· Popper K R., 1968, The Logic of Scientific Discovery, Harper & Row, New York

Tidak ada komentar: